Siapa yang belum pernah mendengar
kata menulis. Pasti kebanyakan orang sudah tak asing lagi dengan kata tersebut.
Apalagi bagi anak kecil sekitar umur 6 tahun. Aktivitas yang tak terpisahkan di
bangku sekolah ini menjadi salah satu idaman semua orang agar anak tersebut
mampu menulis dengan baik dan benar. Sedang bagi mereka yang sudah tidak
anak-anak lagi, seharusnya menjadi learning
culture untuk mengikat segala ilmu yang ada disekitarnya.
Menulis menjadi pilihan banyak orang
untuk menyampaikan maksud hati dan pikiran. Lihat saja, mulai dari SMS, pasang
status di facebook ataupun twetter, ngeblog, ngerjain tugas sekolah
ataupun kampus, dan bahkan sudah ada yang menjadi misi hidupnya: menjadi
penulis. Kesemuanya adalah pilihan.
Berbicara tentang memilih. Laiqrahafiddin*1. Tidak ada
paksaan untuk masuk Islam. Tetapi ketika memang sudah memilih Islam, tentunya
ada konsekuensi-konsekuensi didalamnya. Konsekuensi yang menuntut upaya
penyempurnaan atas apa yang dipilihnya. Baik berupa perintah maupun larangan
yang harus dijalani bagi tiap manusia yang memilihnya. Kemudian bagaimana
dengan pilihan hidupnya pula dengan menjadi seorang penulis?
Menulis juga menjadi pilihan. Pilihan
yang tak ada paksaan pula. Pilihan yang berlandaskan atas alasan masing-masing.
Alasan yang bagi dirinya membuat mungkin itu ghirah untuk tetap bergairah menulis. Menulis yang bagi sebahagian
lain menjadi pilihan untuk memberikan arti sebagai dampak eksistensi dan
aktualisasi diri. Atau bahkan menjadi sesuatu yang mulia, yakni sebagai sarana
memberi kemanfaatan atas dirinya dengan ilmu yang ditulisnya. Memilih pasti ada
konsekuensinya, karena memang akan ada pertanggungjawaban atas pilihannya. Misalnya
saja niat dan apa yang akan dibagi kepada pembaca.
Imam Syafi`i masih terdengar namanya dimajelis-majelis ilmu atas
karyanya: tulisan yang mencerahkan mengenai fiqih. Tahukan sebelumnya Imam
Syafi`i sebenarnya memiliki kecenderungan atas syair, namun kemudian beliau
memilih fokus bidang fiqih? Kemudian kita mengetahui Zaid bin Tsabit ra. yang telah dipercaya mengemban tugas terbesar
dalam sejarah yakni menghimpun Al-Qur`an. Atau siapa yang tak mengenal Imam At-Thabari dengan karyanya
Ath-Thabari. Ya kalau tidak mengenal, minimal pernah mendengarnya dan beliau
merupakan salah satu sejarawan periode Abbasiyah yang paling berjasa dalam
menyusun data-data sejarah umat Islam. Kitab tafsirnya Jami`ul Bayan. Tidak ketinggalan pula dengan Al-Bukhari, nama yang tidak asing dalam
periwayatan hadist. Menjadi salah satu
Imam hadist pada masanya dengan karya yang paling direkomendasikan oleh banyak
ulama yakni Jami`ash-Shahih.
Bagi mereka menulis bukan menjadi
paksaan. Banyak dari mereka memang menulis menjadi sarana yang memungkinkan
mereka akan tetap selalu “hidup”. Hidup dalam naungan amalan yang mengalir atas
ilmu yang dikaji dari masa ke masa. Menulis yang hanya diniatkan Allah semata.
Nah bagaimana dengan kita? Apakah
pula sudah memiliki alasan (why) kuat
mengapa kita menulis. Atau sekedar mengetahui definisi menulis yang harusnya
beda antara pemikiran kita dengan anak SD kita belum tahu. Itulah yang harusnya
dikuatkan bagi siapa yang menetapkan hidupnya sebagai penulis, yakni MENGAPA
menulis. Harusnya kita memiliki passion
yang kuat menancap untuk kemudian menjadi penguat berlelah-lelah bahkan berjuang
keras untuk menjalani proses itu. Passion
yang tak menjadikan menulis sebagai rutinitas belaka. Dan memang ketika alasan
menulis itu sudah mendarah daging, Insha
Allah segala hambatan apapun akan terlewati. Karena kemenangan itulah yang
akan didapatkan bagi mereka yang yakin atas janji Allah. Kemenangan yang
didapatkan melalui proses kerja keras dan sesuai tuntunan. NAH! Sudahkah siap
dengan totalitas berupa kesungguhan dalam berproses? Mari kita bersiap dan
MENULISLAH! Sekarang!
annafi`ahfirdaus
*1Al-Baqarah :256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar