![]() |
@buletinnah |
Oleh:
A. Yusuf Wicaksono
Hati
ini mulai teraduk-aduk, mendengar kabar bahwa perut mereka sering kempis, tenggorokan
dan mulut mereka sering kering, seakan telah lama makanan tidak melewatinya.
Sehari tidak makan, itu hal biasa bagi mereka. Dua hari, tiga hari, bahkan
lebih dari itu mereka pernah.
Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka membenci makanan?
Bukan itu masalahnya. Mereka sudah tidak punya apa-apa.
Bekal mereka telah habis. Tetapi keinginan mereka terhadap ilmu masih membara.
Ilmu seakan jadi pengganti lezatnya makanan untuk perut mereka.
Demikianlah para ulama dulu. Hari-harinya disibukkan dengan
ilmu. Perjalanan yang panjang seakan tidak masalah. Yang terpenting ilmu bisa
didapatkan. Meskipun hanya mendapat satu hadits, itu juga bukan persoalan.
Perjalanan
yang panjang, hendaknya juga disertai dengan bekal yang banyak. Akan tetapi,
jika memang sudah kehabisan. Apa yang bisa diperbuat? Mungkin bisa dengan
bekerja. Atau bisa juga dengan menjual apa-apa yang masih tersisa, bisa baju
bahkan kitab-kitab berharga mereka. Yang lebih parah lagi, jika mereka memilih
untuk tidak makan. Bahkan tidak mau meminta. Akan tetapi dengan itulah mereka
mulia.
Lantas
bagaimana jika itu terjadi kepada kita? Semua serba kekurangan. Semua serba
terbatas. Mungkin sebagian dari kita ada yang demikian, tetapi seberapa parah
penderitaannya. Sudahkah sebanding dengan mereka? Coba sekarang perhatikan
mereka.
Namanya
Sufyan Ats-Tsauri, sudah tiga hari beliau tidak makan apa pun. Ketika beliau
melewati sebuah rumah yang tengah mengadakan pesta. Dirinya terdorong untuk
mendatanginya. Akan tetapi Allah menjaga kemuliaan beliau. Akhirnya, beliau
pergi ke rumah putrinya. Di sana, putrinya menyuguhkan roti yang pipih. Ya,
beliau makan hingga keluar sendawa.
Hal
yang hampir sama juga dialami ulama satu ini, Imam Ahmad bin Hambal. Kehidupan
duniawinya seakan sangat sempit. Sampai-sampai beliau kerap tidak makan selama
beberapa hari. Jelas, itu karena keadaan yang serba sulit dan tidak adanya
dana.
Bahkan
selama beberapa tahun, beliau tidak memiliki pakaian untuk mengganti bajunya
yang sudah usang. Sampai suatu ketika, untuk mendapat bekal perjalanan mencari
ilmu ke Yaman, beliau menjual sandalnya kepada tukang roti. Ditambah lagi,
beliau bekerja sebagai kuli angkut.
Kali
ini Imam Abu Hatim Ar-Razi, adalah salah seorang dari para imam “Al-Huffazh
Al-Atsbat”. Beliau terkenal lantaran ilmu dan keutamaannya. Suatu ketika
sahabatnya datang untuk yang kesekian kalinya. Dia ingin mengajak Abu Hatim
menuntut ilmu. Hingga terjadi perbincangan di antara mereka,
“Marilah
kita pergi untuk belajar.”
“Aku
tidak sanggup. Aku lemah sekali.”
“Mengapa engkau lemah begini?”
“Aku
tidak akan menyembunyikannya darimu. Sudah dua hari aku tidak makan apa-apa.”
“Aku
mempunyai uang satu dinar dan akan kubagi dua, setengah untukmu dan setengah
lagi untuk sewa.” Akhirnya mereka pun pergi keluar.
Ya,
Abu Hatim. Demi ilmu, beliau sembunyikan rasa laparnya. Ketika benar-benar
sudah terpaksa, dan tidak mungkin untuk berdusta. Maka beliau sampaikan kepada
sahabatnya bahwa dirinya belum makan selama dua hari.
Rasanya
diri ini sangat malu jika dibandingkan mereka. Mereka rela lapar demi ilmu,
mereka rela menjual apa-apa yang masih tersisa demi ilmu. Dan itulah kemuliaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar